Senin, 26 Maret 2012


Nama : Adryan Rizal Vandera
Panggilan : Enda/Adry
Lahir : Bayah, 15 Maret 1990
Hobi : Main gitar, Nyanyi, Bikin lagu, Browsing, Bloging, dll.
Profesi : Saat ini sebagai Station MAnager di PT. Radio Sekar Bagus 87,7 MHz, Lebak, Banten Selatan.
Hal yg ditakuti : Sendiri
Phobia : Ulat
Hal yg disukai : Disayangi orang yg tulus menyayangi
Shio : Kuda
Zodia : Pisces
Band : Xenophobie, Enda solo Project
Pengalaman : Pernah ikutan audisi Indonesian Idol 2010 di Bandung walaupun gak lolos, Hehehehe...
Akun Facebook : Adryan Rizal Vandera Alfaridzh (alfaridzh@gmail.com)
Motto : Hidup sehat dari fikiran yg kotor & membebani diri,Keep your smile :)

Tentang saya

Assalammualaikum Wr Wb

Pertama tama saya ingin mengucapkan rasa syukur saya ke hadirat allah swt, karena atas kuasa nya lah saya bisa bernafas dan tentunya bisa membuat blog ini, lalu kepada nabi besar Muhammad saw, yg selalu menjadi junjungan saya, selanjutnya orang tua saya yg melahirkan saya dan tentunya telah merawat saya sampai saat ini.

Sahabat yang baik, saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya, dan alhamdulilah saya sedang berjalan untuk lebih mendalami dunia broadcast ini, saya cuma mau bilang, jangan terlalu banyak berharap, tapi harus selalu bisa jadi harapan bagi siapa pun yang kalian kenal di dunia ini, hidup adalah jalan untuk mati, pekerjaan jalan untuk hidup, jangan besar kepala, keep yiur smile.

Programmer adalah pekerjaan sekaligus hobby saya, jangan kaget kalo melihat keanehan pada data uang ada di Sekar Bagus.

Jumat, 16 Maret 2012



Lebak (ANTARABanten) - Objek wisata pantai di Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten dinilai layak jual karena memiliki daya tarik untuk mendatangkan pengunjung domestik maupun macanegara.
"Saya yakin jika ada investor mau mengembangkan kawasan wisata Pantai Bayah ini dipastikan akan mendatangkan devisa bagi pemerintah daerah dan masyarakat setempat," kata Kepala Bagian Ekonomi dan Pembangunan Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Sri Mustika saat dihubungi, Selasa.
Sri mengatakan, potensi wisata tersebut di antaranya objek wisata pesisir pantai, gunung dan hutan lindung, yang tidak dimiliki oleh daerah lain di Provnsi Banten.
Ia merujuk pada keindahan pesisir pantai seperti Ciantir, Tanjunglayar, Pulau Manuk, Karang Taraje, dan Sawarna yang masih dikatakan "perawan" atau alami adalah beberapa objek wisata yang layak jual itu.
Sejumlah lokasi wisata bahkan setiap pekan dikunjungi oleh orang asing untuk bermain olah raga selancar ombak (surfing).
Selain itu juga terdapat gua-gua dan situs sejarah sekaligus bisa dimanfaatkan pengunjung melihat langsung pantai pesisir selatan.
Bayah juga memiliki kawasan hutan lindung dengan pohon-pohon besar milik Perum Perhutani.
"Saya kira wisata Bayah tidak kalah dengan objek wisata Pulau Bali," ungkap Sri Mustika. 
Namun demikian, kata dia, objek wisata tersebut hanya dipadati pengunjung setiap hari libur atau perayaan keagamaan, karena potensi wisata yang ada hingga kini belum digarap investor sehingga kondisi kawasan wisata di daerah itu hanya "berjalan di tempat.
Karena itu, pihaknya bersama Pemerintah Kabupaten Lebak dan Provinsi Banten terus melakukan promosi-promosi maupun pameran potensi wisata untuk mendatangkan investor.

Tanjung Layar


Menurut dia, para investor hingga kini belum melirik kawasan wisata Banten bagian selatan karena tidak adanya sarana dan prasarana yang memadai seperti kondisi jalan, listrik, air bersih, telekomunikasi, pusat perbelanjaan, dan perhotelan.
"Saya minta pemerintah daerah bisa memfasilitasi sarana itu untuk mengundang investor domistik maupun mancanegara," katanya.
Dia juga menyebutkan, jumlah penduduk Kecamatan Bayah tercatat 10.884 kepala keluarga (KK), dan kategori warga miskin sebanyak 3.357 KK sangat berharap objek wisata itu digarap investor.
"Jika investor mengembangkan kawasan wisata tentu pendapatan ekonomi masyarakat meningkat," katanya.
Sementara itu, Kepala Bidang Penanaman Modal pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Lebak Ngapipudin mengatakan, dari 22 objek wisata yang ada hingga kini belum satu pun diminati lnvestor karena berbagai faktor antara lain minimnya Infrastuktur seperti jalan, penerangan listrik, air bersih, hotel, dan pusat perbelanjaan.
Menurut dia, sebenarnya potensi objek wisata di Kabupaten Lebak sangat kaya dan memiliki nilai jual bagi investor, bahkan bisa mengalahkan pariwisata di Provinsi Bali.
Salah satu objek wisata yang sangat potensial dikembangkan adalah di kawasan Banten selatan yang kaya wisata bahari karena merupakan pesisir pantai Samudra Hindia.
Kawasan wisata bahari selain menarik untuk rekreasi keluarga juga bagus untuk olahraga selancar, katanya.
"Banyak turis pengunjung di Pelabuhanratu, Sukabumi kemudian  memilih pantai Sawarna untuk bermain selancar." katanya.

“Penuturan Saksi Hidup Kekejaman Jepang saat membangun Rel Kereta Api Saketi – Bayah”
PANDEGLANG, Sebagaimana telah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya, bahwa Kata Saketi yang menunjukan sebuah Kecamatan di Kabupaten Pandeglang. Asal katanya diambil dari bahasa Sunda, yang artinya 100 ribu. Konon, 100 ribu itu mengacu pada ramalan tentang banyaknya korban selama pembuatan jalur kereta api Saketi-Bayah. Jadi, kalau jarak Saketi ke Bayah 90 kilometer, ada satu nyawa yang melayang dalam pembuatan satu meter rel ini. Oleh karena itu Jalur KA ini dikenal sebagai Jalur Death Railway. Didorong oleh rasa penasaran, saya mencoba mencari data, apakah masih ada pelaku, saksi ataupun korban yang masih hidup untuk menceritakan pengalamannya dalam membuat jalur ini.

Dan suatu kebetulan, akhirnya saya mendapatkan sebuah catatan yang dimuat di sebuah Media Online BERNAS.CO.ID, tulisan yang bertajuk ”Ahmad Parino dari Romusha Hingga TKR” sangat menarik bagi saya, berikut ini adalah tulisan lengkapnya :
Ahmad Parino dari Romusha Hingga TKR
Kamis, 21 Ags 2008 09:04:35
“SAYA menyaksikan mayat berserakan sepanjang rel kereta api dan hutan lebat, saat kami dipaksa membuka Jalan Kereta Api Saketi Bayah (80 km) yang menghubungkan Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak,” kata Ahmad Parino (80).
Mayat mayat itu adalah teman teman Parino, sesama Romusha yang meninggal selama kurun 1942 1945 lalu.
Menurut Parino, penyiksaan, pembunuhan dan pemerkosaan menjadi pemandangan sehari hari yang menakutkan selama 3,5 tahun itu.
Oleh karena itu bagi warga Kampung Pulau Manuk, Desa Darmasari, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak itu, kekejaman dan kesadisan tentara Jepang perlu mendapat perhatian dunia, karena sangat melanggar Hak Azasi Manusia (HAM).
“Ribuan warga Indonesia yang dipaksakan menjadi Romusha mati sia sia,” katanya. Kekejaman tentara Jepang hingga ribuan pekerja paksa Rakyat Indonesia berasal Jawa Tengah dan Jawa Timur, tewas akibat kelaparan, serangan penyakit, dimakan binatang buas dan penyiksaan.
Jika ingat Jepang, ia selalu teringat pengalaman pahit ketika ia mendapatkan penyiksaan Bangsa Jepang itu.
Ia sekujur badan dan tangan kini membekas luka akibat tindakan kekerasan fisik oleh pasukan Haiho itu.
“Saat ini tangan kiri saya sudah tidak bisa digerakan lagi karena penyiksaan Jepang itu,” katanya.
Hingga kini tidak bisa melupakan kekejaman Samsua Hojai, komandan Romusha. Ia seorang perwira menengah yang paling kejam bahkan tak segan segan membunuh dengan cara menembak.
“Saya lihat dengan mata sendiri, sepuluh kawan saya ditembak mati oleh Samsua Hojai,” kata Ahmad Parino mengenang masa lalu sambil mengutarakan pengalaman ini jangan sampai terulang anak dan cucunya.
Parino menjadi romusha karena dipaksa. “Waktu itu selepas pulang Sekolah Rakyat (SR) di Semarang, saya ditangkap tentara Jepang untuk dikirim menjadi Romusha di wilayah Banten. Saat itu saya masih duduk di bangku kelas 3,” katanya.
Ahmad Parino, pria kelahiran Purworejo, Jawa Tengah, ditangkap bersama Samsuni dan Tohir, yang kini sudah meninggal dunia.
Selama menjadi romusha, Parino dipaksa melakukan pekerja di luar batas kemampuannya. Ia setiap hari bertubi tubi memperoleh penyiksaan dari Tentara Jepang.
Pekerja tidak boleh melepas lelah sedikitpun. Mereka terus dipaksa membuka hutan belukar untuk jalan kereta api Saketi Bayah itu.
Para romusha bukan tidak pernah melawan. Bahkan, Parino pun pernah memukul serdadu Jepang hingga terkapar, karena ia tak tahan menjalani penyiksaan mereka itu.
“Beruntung Tuhan memberikan umur panjang hingga sekarang ini,” kata Ahmad Parino yang kini pendengarannya berkurang. Bergabung TKR Fisabililah
Setelah Tentara Jepang meninggalkan Tanah Air, Parino Tahun 1948 bergabung menjadi tentara keamanan rakyat (TKR) Fisabililah.
Ia kurang lebih delapan bulan bergerilya menyerbu Belanda di Serpong dan Jakarta.
Di bawah komandan Letnan Nawawi bersama pasukan TKR wilayah Pandeglang, Rangkasbitung, Parungpanjang, Tenjo, dan Serpong berjalan sekitar 250 Km menuju Jakarta.
Pasukan TKR Fisabililah sangat disegani Belanda, setiap pertempuran selalu berhasil melumpuhkan pasukan Belanda.
Akan tetapi, saat pertempuran di Serpong pada 1948, banyak anggota pasukan TKR Fisabililah gugur.
“Saat ini di Serpong terdapat seribu makam pahlawan yang gugur di tangan pasukan Belanda,” katanya.
Untuk menghindari korban lebih banyak, Pak Nawawi memerintahkan pasukan mundur dan berjalan menuju arah Leuwiliang.
Namun, ia sebelum tiba di Leuwiliang Pak Nawawi gugur, ditembak oleh pasukan Belanda. Ia juga masih hafal lagu lagu perjuangan, selama menjadi tentara rakyat itu.
“Yang menjajah kita hancurkan, lah musuh kita Amerika, Inggris, Belanda, siap bertempur. Jiwa pahlawan tidak mati hingga tetes darah penghabisan untuk kemerdekaan Indonesia,” demikian bait bait lagu itu.
Namun setelah enampuluh tiga tahun Indonesia merdeka, Ahmad Parino belum bisa mengecap manisnya arti kemerdekaan. Ahmad Parino yang kini tinggal di Desa Darmasari, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, belum mampu memerdekakan keluarganya.
Hingga kini ia hidup terlilit kemiskinan. “Saat ini saya hidup seadanya karena tidak memiliki penghasilan tetap. Dua anaknya juga menjadi TKI di Malaysia,” katanya.
Ia berharap pemerintah Indonesia dapat terketuk hati, melihat keadaan para mantan anggota TKR dan romusha.
Ia juga berharap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dapat memberikan jaminan hidup masa tua bagi pejuang kemerdekaan.***

Tahukah anda jalur KA Saketi-Bayah adalah jalur Death Railway 
yang banyak memakan korban jiwa..?

Jalur Kereta Api Saketi – Bayah pada saat pembangunannya banyak memakan korban ribuan manusia, dengan jumlah korban fantastis yang terdiri dari tawanan perang / Prisoner Of War (POW) Sekutu dan Romusha. Berikut ini adalah beberapa tulisan yang berkaitan dengan Jalur Kereta Api Saketi – Bayah yang fenomenal itu, tulisan yang saya kutip dari beberapa postingan di internet ini, mudah-mudahan menjadi referensi bagi kita semua. Pembangunan jalan kereta api punya arti sangat strategis bagi kelanjutan ekspansi tentara Jepang pada Perang Dunia ke-II, dan dikerjakan dengan Sistim Kerja Paksa (slave labour) Romusha dan tawanan perang / Prisoner Of War (POW

Perihal jalur kereta api maut, sejarah mencatat, Jepang menorehkan kisah kejam di Banten Selatan jalur Saketi – Bayah. Sebelumnya, Jepang sudah membuka jalur kematian dari Thailand ke Burma. Sebuah jalur kereta api yang juga sudah direncanakan oleh pemerintah Inggris, namun karena kondisi alam yang berat maka rencana itu dikesampingkan. Jepanglah yang kemudian mengacak-acak dokumen Belanda dan Inggris dan menemukan rencana jalur tersebut untuk kemudian mewujudkannya melalui tangan, darah, dan nyawa para Romusha yang tak hanya terdiri atas bangsa Indonesia tapi juga Australia, Inggris, Amerika, dan Belanda.

Jadi selama Perang Dunia II (1938-1945) Jepang membangun tiga jalur kereta api di dua wilayah di Asia Tenggara yaitu jalur Thailand-Burma, Muaro Sijunjung-Pekanbaru, dan jalur Saketi-Bayah. Jepang menggunakan tahanan yang dipaksa kerja dan seperti dikirim ke neraka karena puluhan ribu jiwa melayang dalam proyek pembangunan jalur kereta api tersebut. Jalur kereta api di dua wilayah Indonesia itu tak lagi bersisa, seperti juga tragedi kekejaman Jepang yang seakan terlupakan.

Jalur Saketi – Bayah (Death Railway) pembangunannya dilaksanakan pada tahun 1942-1945. Pembangunan jalan KA Saketi-Bayah juga merupakan bagian dari strategi perang Jepang bertujuan ganda : pertama mengangkut batu bara dari tambang batu bara Cikotok yang merupakan bahan bakar kereta api dan kapal zaman itu, kedua guna menghindarkan angkutan laut yang sudah mulai terancam oleh serangan torpedo kapal selam sekutu. Pembangunannya juga dilakukan dengan menggunakan tenaga romusha tanpa POW, tapi melibatkan sejumlah tenaga ahli perkereta apian Belanda yang menjadi tawanan perang Jepang.

Pekerjaan penambangan batu bara inipun dikerjakan dengan penggunaan tenaga romusha. Bantalan kayu dan rel untuk pembangunan jalan KA ini diambil dari seluruh Jawa, sebagaimana halnya juga dengan tenaga romusha yang kebanyakan berasal dari Jawa Tengah, seperti dari Purworejo, Kutoarjo, Solo, Purwodadi, Semarang, Yogyakarta, dan lain-lain. Pembangunan jalan kereta api sepanjang 89 km ini menelan korban yang diperkirakan mencapai 93.000 jiwa romusha.

Bayah yang sibuk dengan aktivitas pembuatan jalan kereta api dan penambangan batu bara inilah yang juga terkait dengan cerita seputar Tan Malaka. Diceritakan bahwa dikota kecil Bayah inilah Tan Malaka pernah menetap. Kota yang merupakan tempat yang aman bagi persembunyian Tan Malaka, dan tempat yang cukup tenang guna meneruskan aktivitasnya menuliskan buah-buah pemikirannya tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Walau kisah sejarah ini sangat mencekam dilihat dari korban jiwa romusha yang fantastis itu, ternyata saat ini jejak-jejak sejarah itu sudah hampir-hampir lenyap. Masyarakat banyak yang hanya pernah mendengar kisah ini dan hampir semuanya sekarang bersikap acuh tak acuh. Tempat-tempat yang dulu dikenal sebagai sumur romusha, stasiun Kereta Api, goa-goa bekas penambangan batu bara, semua sudah sulit ditemukan. Rel-rel untuk angkutan batu bara sudah habis diangkut tukang besi untuk dijual.

Satu-satunya apresiasi yang pernah diberikan terhadap para korban ini adalah kehadiran sebuah monumen berupa tonggak setinggi 3 meter, yang terletak di sebelah SLTPN 1. Tugu yang dikhabarkan dibangun oleh Tan Malaka ini berada dalam kondisi tidak terawat dan terkesan diabaikan. Berikut ini adalah beberapa kisah seputar jalan kereta api maut Saketi-Bayah yang diambil dari sejumlah posting di internet :

Jalur Banten Selatan Saketi – Bayah (Jan de Bruin)
Stasiun Kereta Api Saketi

Setelah tahun 1943, kesulitan hubungan laut (akibat kegiatan kapal selam Sekutu) menimbulkan masalah bahan bakar di Jawa. Sebelum perang, sebagian besar lokomotif menggunakan bahan bakar batu bara, dan sebagiannya kayu jati. Produksi kayu per tahun adalah sekitar 300 ribu ton, sebagian besarnya dari Dinas Kehutanan (Boschwezen = Perhutani). Untuk kepentingan perusahaan kereta api, diperlukan 900 ribu ton kayu bakar per tahunnya. Maka, sejak tahun 1942, Jepang memiliki gagasan untuk memanfaatkan batu bara muda di sekitar Bayah sebagai bahan bakar.

Jepang mendapatkan sebuah laporan dari sekitar tahun 1900 bahwa cadangan batu bara muda di Bayah mencapai 20-30 juta ton. Jepang memperkirakan bahwa produksi batu bara pertahun mungkin mencapai 300 ribu ton. Namun cadangan batu bara tersebut tersebar di lahan yang luas dan terisolasi. Lapisan batu bara itu juga tipis, hanya sekitar 80 cm, sehingga eksploitasi besar-besaran pada masa damai tidak akan ekonomis. Namun ini adalah masa perang.

Untuk bisa mengeksploitasi tambang-tambang itu, dibangun jalur sepanjang 89 km dari Saketi (sebuah stasiun di jalur Rangkasbitung-Labuan) ke Bayah, di selatan Banten. Rencana jalur mulai dirancang pada bulan Juli 1942, dan pembangunan dimulai awal tahun 1943. Bantalan kayu dan rel dikirim dari seluruh Jawa ke Saketi. Sejak awal tahun 1943 banyak pakar perkeretaapian Belanda dipaksa untuk menyumbangkan keahlian dan pengetahuan mereka untuk pembangunan jalur ini.
Seperti juga di Sumatera, kerja terberat dalam pembangunan jalur ini dilakukan oleh para Romusha. Banyak dari mereka menjadi korban karena kekurangan makan dan penyakit tropis. Angka yang diberikan bervariasi dari 20 hingga 60 ribu, belum termasuk 20 ribu pekerja tambang yang tewas. Daerah berpenduduk jarang ini masih merupakan rimba, rawa-rawa dan bukit-bukit, penuh dengan hewan buas. Ditambah dengan kerja keras dan ketiadaan obat-obatan, tidak kurang dari 500 romusha setiap harinya tewas, namun setiap harinya jumlah yang lebih besar direkrut untuk menjadi pekerja. Pada masa pembangunan jalur ini sekitar 25-55 ribu pekerja membangun jalur ini. Sejauh diketahui, tidak ada tawanan perang yang dipekerjakan untuk membangun jalur ini. Pada bulan Maret 1944 jalur telah siap, dan dibuka pada 1 April 1944 (tepat 61 tahun yang lalu!) oleh para pejabat Jepang. Lokomotif BB10.6 menarik kereta pertama di jalur ini.

Jalur ini berawal di stasiun Saketi, dan berakhir di Gunungmandur, letak tambang batu bara yang terjauh. Stasiun Gunungmandur terletak dua kilometer dari stasiun Bayah. Jalur sepur tunggal ini memiliki sembilan stasiun dan lima halte (yaitu Cimangu, Kaduhauk, Jalupang, Picung, Kerta, Gintung, Malingping, Cilangkahan, Sukahujan, Cihara, Panyawungan, Bayah dan Gunungmandur).

Masing-masing stasiun setidaknya memiliki dua jalur dan bangunan stasiun kecil; Bayah memiliki lima jalur. Selain stasiun Gunungmandur, tujuh stasiun yang lebih kecil dilengkapi dengan sinyal dengan handel kayu. Bayah menggunakan sinyal Alkmaar. Setiap harinya maksimum 300 ton batu bara muda dibawa ke Saketi. Selain batu bara, ada pula kereta api penumpang, namun karena daerah ini berpenduduk jarang, sebagian besar penumpang adalah pekerja kereta api atau pekerja tambang. Setiap harinya 800 penumpang bepergian, yang diangkut dengan 15 kereta kelas 3.

Jalur ini dibangun relatif lebih kokoh daripada jalur Pekanbaru, dengan 20 jembatan, semuanya dengan ujung-ujung dari batu. Untuk pembangunan jalur Banten Selatan ini digunakan material kereta api dari pabrik-pabrik gula yang ditutup dan lok tram PsSM No. 12 (B16). Setelah beroperasi, digunakan material SS dan lok BB10.

Rabu, 14 Maret 2012


BANTEN - Usaha kecil dan menengah di Kabupaten Lebak, Banten, mampu menyerap tenaga kerja lokal sebanyak 45.000 orang.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Lebak, Wawan Ruswandi, Jumat, mengatakan, selama ini pertumbuhan usaha kecil dan menengah (UKM) meningkat antara 4-5 persen per tahun.
Mereka para pelaku UKM di Kabupaten Lebak bergerak dibidang kerajinan tangan, alat rumah tangga, meubeler, bilik, batu fosil, dan anyam-anyaman.
Bahan baku tersebut, kata dia, begitu mudah diperoleh di wilayah itu, seperti bambu, melinjo, gula aren, pandan, dan singkong.
"Dengan industri ini tentu sangat membantu pemerintah daerah untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat," ujarnya.
Ia menyebutkan, saat ini jumlah tenaga kerja pada sektor kerajinan di 28 kecamatan tercatat 45.000 orang dan pendapatan mereka rata-rata Rp.30 ribu per hari.
Dari 45.000 orang tersebut, kata dia, mereka bekerja tersebar di 14.300 unit UKM. Mereka memproduksi perabotan rumah tangga, dinding bilik, meubeler, dan cendera mata.
Dijelaskan Wawan Ruswandi, bahan anyaman pandan membuat tikar dongdot atau tikar setengah jadi untuk dipasok ke Tasikmalaya, Jawa Barat.
"Perajin setiap tahun bisa memasok tikar setengah jadi ke Tasikmalaya sebanyak 10.000 kodi," katanya.
Pemerintah daerah, kata Wawan, terus mendorong masyarakat memanfaatkan potensi sumber daya alam (SDA) untuk dijadikan sumber penghasilan.
Selama ini, potensi bahan baku kerajinan, baik hasil pertanian maupun perkebunan, cukup melimpah.
Oleh karena itu, kata dia, hampir seluruh daerah Kabupaten Lebak terdapat kerajinan anyaman bambu dan tikar pandan.
"Saya kira dengan tumbuhnya perajin itu dipastikan dapat meningkatkan penghasilan ekonomi masyarakat," ujarnya.
Ia mengatakan bahwa pihaknya terus memberikan pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat agar bisa menciptakan unit usaha baru dengan memanfaatkan bahan baku bambu tersebut.
"Jika unit usaha itu tumbuh dipastikan dapat mengatasi pengangguran," katanya.
Kendati demikian, lanjut Wawan, pihaknya selama ini menemui kendala untuk menumbuhkembangkan jiwa kewirausahaan masyarakat akibat berbagai faktor, antara lain budaya malas.
Selain itu juga rendahnya pendidikan masyarakat juga menjadikan fator kesulitan dalam pemasaran hasil produksi.
"Kami akan bekerja keras untuk membangun jiwa kewirausahaan mereka itu," katanya.
Sementara itu, Sadeli, seorang pengrajin tikar pandan di Kecamatan Cileles mengaku mempunyai tenaga kerja sebanyak 30 orang dengan pendapatan Rp.20-30 ribu per hari.
"Mereka setiap hari menganyam pandan untuk dipasok ke Tasikmalaya," katanya.

Selasa, 13 Maret 2012


MALINGPING – Sinyal terwujudnya dae­rah otonom baru (DOB) Kabupaten Cilang­kahan belum menemui titik terang. Namun, berbagai kalangan menilai isu DOB Cilang­kahan harus dibawa ke tingkat nasional, agar menjadi perhatian pemerintah pusat dan tidak hanya berkutat di tingkat daerah.
Jika masih berkutat di tingkat daerah, rencana pembentukan Kabupaten Cilangkahan hanya akan dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk dijadikan komoditas politik. Demikian dikatakan Sekretaris Gerakan Perubahan Masyarakat Banten Ade Hidayat. Menurutnya, Bakor PKC bersama para tokoh masyarakat harus membuktikan kepada pemerintah pusat baik Kementerian Dalam Negeri maupun DPR RI, bahwa pembentukan Kabupaten Cilang­kahan merupakan kebutuhan masyarakat.
“Maksimalkan lobi politik dengan pimpinan partai besar di tingkat pusat. Kemudian langkah lain, dengan menge­rahkan massa dari warga Lebak Selatan untuk turun ke jalan (demonstrasi-red), mendesak DPR dan Mendagri. Saya yakin masyarakat Lebak Selatan mau turun ke jalan untuk sebuah perubahan yang lebih baik,” ujar Ketua DPD Gerakan Muda Mathla’ul Anwar (Gema MA) Provinsi Banten ini kepada Radar Banten, Sabtu (4/3).
Kata ade, persoalan rekomendasi Bupati Lebak Mulyadi Jayabaya (JB) jangan terlalu diharapakan. Ade menilai, masyarakat sudah lelah dengan janji JB yang hanya pandai beretorika. “Masih ada jalur politik yang bisa mendorong pemekaran. Paling penting, masyarakat harus berkomitmen dan bersatu untuk terus berjuang,” tegasnya.
Kesiapan dukungan untuk mengerahkan massa turun ke Jakarta menuntut DPR RI dan Mendagri datang dari Forum Ko­mu­nikasi Masyrakat Peduli Cibeber (FKMPC). Mereka bersedia mengerahkan warga Lebak Selatan untuk mendesak pemerintah pusat. “Kami warga siap jika harus berdemonstari ke Jakarta,” tegas Ketua FKMPC Tb Endin Sm saat dimintai komentarnya. Kesiapan juga dilontarkan kalangan Ikatan Mahasiswa Cilangkahan (IMC). “Kami siap berunjuk rasa hingga tuntutan pembentukan Kabupaten Cilangkahan disetujui DPR,” tegas Ketua IMC Sohib Abdul Malik.
Terpisah, Sekretaris Bakor PKC Agus Kenken mengaku, siap jika langkah untuk turun ke jalan atau berdemontrasi harus dilakukan. Namun, Bakor PKC masih akan menggunakan langkah diplomasi atau melobi para petinggi parpol di tingkat pusat, Komisi II DPR, dan Mendagri. “Minggu depan, kami akan melakukan pertemuan dengan DPP Partai Gerindra di Jakarta,” ujarnya. Selain itu, kata dia, Komisi I DPRD Banten sudah menyambangi Direktorat Otonomi Daerah untuk mendesak pembentukan Kabupaten Cilangkahan.
Disinggung terkait hasil urun rembuk dan sarasehan Bakor PKC beberapa waktu lalu, Agus menyatakan, kegiatan tersebut ha­nya untuk memantapkan perjuangan karena selama ini banyak tuduhan bahwa perjuangan Bakor terkesan elitis. “Sarasehan untuk membangkitkan kembali semangat masyarakat untuk terus memperjuangan Kabupaten Cilangkahan hingga terbentuk,” ujarnya.
Kata Agus, beberapa waktu lalu Pemprov Banten siap mendampingi memperjuangkan pembentukan Kabupaten Cilangkahan ke Pemerintah Pusat. “Ibu Gubernur (Ratu Atut Chosiyah-red), siap mendampingi Bakor ke Mendagri dan DPR RI,” ujarnya.

A. Lambang Berbentuk Perisai
Benteng atau Perisai tanda kekayaan dan ketangguhan, sanggup menghadapi segala rintangan tantangan

B. Warna Dasar Kuning
Warna Emas dalam arti Kalimat (letterliyk), Lebak mempunyai tambang emas Cikotok dan kekayaan alam lainnya. Arti kiasan (fuugurliyk), pernah mengalami jaman keemasan dalam sejarahnya dan dengan kemerdekaan RI akan menuju ke jaman itu kembali dengan lebih maju.

C. Kubah Masjid Warna Putih
Lambang Jiwa Agama Islam dalam bathin penduduk. Putih tanda suci dalam hati dan perbuatan, suka damai dan toleransi (tasamuh).

D. Angklung Warna Hitam
Lambang seni, berkaki enam buah tanda gotong royong. Ciri khas kesenian asli lebak bermitos agama. Hitam, bahwa di Lebak masih tinggal Suku Asli Kanekes yang walaupun berada di tempat yang masih diselimuti kegelapan (Daerah Pegunungan Kendeng), pada hakekatnya mereka menyimpan sifat-sifat kebaikan yang murni dan apabila telah masuk sinar yang terang ke dalam lubuk hatinya, kebaikan akan menonjol lebih nyata, sebagai manifestasi jiwa yang asli.

E. Warna Biru Polos
Lambang lautan bahwa daerah Lebak memiliki Samudera Indonesia yang luas dan dalam, yang menghasilkan ikan dan hasil laut lainnya.

F. Warna Biru Di Antara Hijau Melurus Ke Bawah Dan Bersatu Dengan Biru Sebelah Kiri Bawah
Lambang sungai, diantaranya tiga buah sungai besar seperti Cisimeut dan Ciberang, bersatu dengan Ciujung yang walaupun berlainan asal hulunya (sumbernya) tetapi menjadi satu.
Lambang berukuran, ketenangan dan ke dalam lubuk hati rakyatnya. Walaupun berlainan asal sukunya berarti mewujudkan sosial untuk kepentingan umum.

G. Pita Berwarna Merah Putih
Warna merah, tanda hidup dan berani. Warna putih tanda suci. Benteng atau perisai tanda kekayaan dan keteguhan sanggup menghadapi segala rintangan.

SEJARAH KABUPATEN LEBAK

Sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Banten, Kabupaten Lebak dengan luas Wilayah 304.472 Ha, sejarahnya tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kesultanan Banten.
Berkaitan dengan Hari Jadi Kabupaten Lebak yang jatuh pada tanggal 2 Desember 1828,  terdapat beberapa catatan sejarah yang menjadi dasar pertimbangan, antara lain :

1.Pembagian Wilayah Kesultanan Banten

   Pada tanggal 19 Maret 1813, Kesultanan Banten dibagi 4 wilayah yaitu :

    - Wilayah Banten Lor
    - Wilayah Banten Kulon
    - Wilayah Banten Tengah
    - Wilayah Banten Kidul

Ibukota Wilayah Banten Kidul terletak di Cilangkahan dan pemerintahannya dipimpin oleh  Bupati yang diangkat oleh Gubernur Jendral Inggris (RAFFLES) yaitu TUMENGGUNG SURADILAGA.


2. Pembagian Wilayah Keresidenan Banten

Berdasarkan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Nomor 1, Staatsblad Nomor 81 tahun 1828, Wilayah Keresidenan Banten dibagi menjadi 3 (tiga)  Kabupaten yaitu :
      - Kabupaten Serang
      - Kabupaten Caringin
      - Kabupaten Lebak

Wilayah Kabupaten Lebak, berdasarkan pembagian diatas memiliki batas-batas yang meliputi District dan Onderdistrict yaitu :

a. District Sajira, yang terdiri dari Onderdistrict Ciangsa, Somang dan Onderdistrict Sajira,
b. District Lebak Parahiang, yang terdiri dari Onderdistrict Koncang dan Lebak Parahiang.
c. District Parungkujang, yang terdiri dari Onderdistrict Parungkujang dan Kosek,
d. District Madhoor (Madur) yang terdiri dari Onderdisrict Binuangeun, Sawarna dan Onderdistrict  Madhoor (Madur).


3. Pemindahan Ibukota Kabupaten Lebak
Pada tahun 1851, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, nomor 15 tanggal 17 Januari 1849, Ibukota Kabupaten Lebak yang saat itu berada di Warunggunung dipindahkan ke Rangkasbitung. Pelaksanaan pemindahannya secara resmi baru dilaksanakan pada tanggal 31 Maret 1851.


4. Perubahan Wilayah Kabupaten Lebak
Wilayah Kabupaten Lebak yang pada tahun 1828 memiliki District, dengan terbitnya  Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 29 Oktober 1828, Staatsblad nomor 266 tahun 1828,   diubah  menjadi :

- District Rangkasbitung,  meliputi  Onderdistrict Rangkasbitung, Kolelet Wetan, Warunggunung dan Onderdistrict Cikulur.
- District Lebak, meliput Onderdistrict Lebak, Muncang, Cilaki dan Cikeuyeup.
- District Sajira meliputi Onderdistrict Sajira, Saijah, Candi dan Maja.
- District Parungkujang, meliputi Onderdistrict Parungkujang, Kumpay, Cileles dan Bojongmanik.
- District Cilangkahan, meliputi Onderdistrict Cilangkahan, Cipalabuh, Cihara dan Bayah.
5. Tanggal 14 Agustus 1925
   Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 14 Agustus 1925, Staatsblad nomor 381 tahun 1925 Kabupaten Lebak menjadi daerah Pemerintahan yang berdiri sendiri dengan wilayah meliputi District Parungkujang, Rangkasbitung, Lebak dan Cilangkahan.


6. Tanggal 8 Agustus 1950
Undang-undang Nomor 14 tahun 1950 tentang Pembentukan daerah-daerah Kabupaten dalam lingkungan Propinsi Jawa Barat.
Berdasarkan rangkaian sejarah  tersebut kami berpendapat bahwa titi mangs  tepat untuk ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Lebak adalah tanggal 2 Desember 1828, dengan dasar pemikiran dan pertimbangan sebagai berikut :

a. Tanggal 2 Desember 1828, berdasarkan Staatsblad Nomor 81 tahun 1828 merupakan titik awal pembentukan 3 (tiga) Kabupaten di wilayah bekas Kesultanan Banten dan nama Lebak mulai diabadikan menjadi nama Kabupaten dengan batas-batas wilayah yang lebih jelas sebagaimana tercantum dalam pembagian wilayah ke dalam District dan Onderdistrict (Kewedanaan dan Kecamatan). Walaupun terdapat perubahan nama dan penataan kembali wilayah District dan Onderdistrict tersebut, wilayah Kabupaten Lebak dalam perkembangan selanjutnya sebagaimana tertuang dalam Staatsblad nomor 226 tahun 1828, Staatsblad nomor 381 tahun 1925 dan Undang-undang nomor 14 tahun 1950, merupakan wilayah Kabupaten Lebak sebagaimana adanya saat ini.
Sebelum adanya Staatsblad nomor 81 tahun 1828, selain nama Lebak belum pernah diabadikan  batas wilayah untuk Kabupaten yang ada di wilayah Banten karena belum adanya kejelasan yang dapat dijadikan dasar penetapan.

b. Tanggal 2 Desember 1828 yang bertepatan dengan saat diterbitkannya Staatsblad nomor 81 tahun1828,  tidak dijadikan dasar penetapan sebagai Hari Jadi bagi dua Kabupaten lainnya, yaitu Kabupaten Serang dan Pandeglang.
Upaya yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Lebak beserta seluruh aparat serta dukungan seluruh masyarakat Kabupaten Lebak melalui wakil-wakilnya di DPRD,  telah berhasil menentukan Hari Jadi Kabupaten Lebak dengan lahirnya Keputusan DPRD nomor 14/172.2/D-II/SK/X/1986, yang memutuskan untuk  menerima dan menyetujui bahwa  Hari Jadi Kabupaten Lebak jatuh pada tanggal 2 Desember 1828 beserta rancangan peraturan daerahnya.

Senin, 12 Maret 2012


PANDEGLANG-Sebanyak 31 rumah di Kampung Pesisir, Desa Sidamukti, Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Pandeglang, hancur dihantam gelombang pasang,  Minggu (11/3) dini hari, sekira pukul 01.00 WIB.
Pantauan Radar Banten, Minggu (11/3) pukul 09.00 WIB, sejumlah warga yang rumahnya hancur membersihkan puing-puing rumah. Mereka mengumpulkan puing-puing itu untuk dapat digunakan lagi menambal rumah mereka.
Salah satu warga Kampung Pesisir yang rumahnya hancur, Toyib (50), me­ngakui tidak menyangka musi­bah gelombang pasang terjadi lan­taran sebelumnya tak ada tanda-tan­da wilayah Sidamukti dilanda ge­lom­bang. Kata Toyib, pada Ming­gu dini hari turun hujan deras ditam­bah angin kencang. “Saat kejadian saya dan keluarga kaget, ka­rena air laut tiba-tiba sudah ber­­ada di samping rumah,” katanya.
Lantaran panik, Toyib dan ke­luarganya memutuskan keluar ru­mah dan tidak sempat meng­aman­kan barang-barang berharga yang berada di dalam rumah. “Pada waktu itu saya berlari keluar mencari tempat yang aman,” ungkapnya.
Ia mengungkapkan, saat kejadian, tinggi gelombang di perairan Sukaresmi mencapai lima meter. “Kita berhamburan keluar takut terjadi tsunami,” kenangnya.
Senada dikatakan warga Kampung Pesisir lainnya yakni Amsar (80). Kata dia, mayoritas warga yang rumahnya hancur masih mengungsi di rumah saudara dan tetangga yang rumahnya selamat. “Kami balik ke rumah untuk membersihkan puing-puing, kami takut gelombang pasang kembali terjadi,” tuturnya.
Sementara korban lain, Warna (45), mengakui warga yang rumahnya hancur mengalami kerugian puluhan juta rupiah. “Kami belum bisa memastikan nominalnya, karena kami saat ini masih syok,” ungkapnya yang dimini para korban yang lain.
Ditemui di ruang kerjanya, Sekretaris Desa (Sekdes) Sidamukti Nendi Nasaroji menuturkan bahwa mayoritas warga yang menjadi korban gelombang pasang berprofesi sebagai nelayan. “Kami juga merasa kaget dengan musibah ini, karena ini merupakan yang peratama kalinya terjadi. Kalaupun ada gelombang pasang, biasanya tak sampai menghancurkan rumah,” tukasnya.
Kata Nendi, masih mendata korban. “Senin besok (12/3) insya Allah data korban plus jumlah kerugian akan kita sampaikan ke kecamatan dan Pemkab Pandeglang,” janjinya.
Camat Sukaresmi Enjan Sujana menegaskan telah meng­informasikan kejadian kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Pandeglang. “Informsinya baru sebatas lisan karena kita belum mendapat berita lebih detil dari aparat desa,” tuturnya.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kabupaten Pandeglang Anwar Fauzan mengatakan,  sudah menyiapkan bantuan berupa beras dan sembako untuk para korban. “Kita tahu informasi setelah di-SMS oleh Pak Camat,” tuturnya.
Soal bantuan peralatan rumah, Anwar mengaku akan berkoordinasi dengan Dinsos Banten dan Kementerian Sosial (Kemensos) agar mengucurkan program pengadaan rumah layak huni (RLH). “Insya Allah akan kita anggarkan pada perubahan APBD tahun 2012 nanti atau APBD tahun 2013 untuk membantu pengadaan rumah yang hancur akibat gelombang pasang,” janjinya.

Satu Nelayan Hilang
Sementara itu salah satu nelayan asal Kecamatan Panimbang yakni Budi (25) hingga kemarin sore belum ditemukan. Ia terpeleset dari kapal saat akan pulang melaut dari Pulau Popole (Kecamatan Panimbang) Minggu (11/3) sekira pukul 04.30 WIB. “Budi terpeleset dari kapal karena pada saat itu cuaca buruk melanda perairan Panimbang, Budi sempat berpegangan pada kayu kapal, namun karena ombak deras, ia akhirnya terbawa arus,” kata salah satu nelayan asal Panimbang, Anih (40), yang ditemui di Pantai Panimbang.
Kata Anih, para nelayan di Kecamatan Panimbang hingga pukul 12.00 WIB kemarin, masih mencari Budi. “Saat ini (Minggu sore, 11/3) kami menghentikan pencarian, karena terkendala cuaca buruk,” ungkapnya.
Kapolsek Panimbang AKP Suradi membenarkan bahwa salah satu nelayan asal Kecamatan Panimbang hilang akibat gelombang tinggi. Ia mengimbau kepada para nelayan saat cuaca buruk untuk tidak melaut. “Kami juga akan meminta bantuan Polair Panimbang untuk mencari Budi,” jelasnya. (mg-13/alt/ags)

http://www.radarbanten.com